Gempa besar yang melanda Jepang tahun silam meninggalkan banyak kisah yang menginspirasi. Salah satu yang menarik adalah kisah tentang integritas para pengunjung sebuah restoran di Tokyo. Saat gempa terjadi, para pengunjung restoran yang sedang menikmati hidangan langsung berhamburan keluar dan tidak sempat membayar. Namun beberapa hari kemudian, para pengunjung itu datang kembali ke restoran tersebut dan membayar semestinya.
Kisah dari negeri sakura di atas dapat kita jadikan renungan bersama tentang nilai integritas yang telah berubah menjadi perilaku. Dalam situasi seperti itu, para pengunjung restoran tersebut bisa saja memilih untuk tidak datang kembali untuk membayar tagihan. Tapi nilai integritas yang tertanam kokoh dalam jiwa mendorong mereka untuk berperilaku sejalan dengan nilai tersebut, meski dalam keadaan force majeure sekalipun.
Implementasi nilai dalam bentuk perilaku adalah harapan semua organisasi yang berharap mencapai performa tinggi. Tapi dalam kenyataannya, banyak organisasi yang belum memiliki nilai-nilai. Tidak adanya nilai-nilai yang disepakati bersama menjadikan karyawan tidak memiliki panduan dalam berperilaku, tidak tahu mana yang boleh dan tidak boleh dikerjakan dalam menjalankan organisasi.
Ada juga organisasi yang sudah memiliki nilai-nilai tapi karyawannya belum menerima dan belum merasa memiliki. Salah satu sebabnya adalah karena organisasi meminta konsultan membuatkan nilai-nilai tanpa melibatkan karyawan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan tidak adanya proses internalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam diri setiap karyawan. Nilai-nilai hanya digunakan sebagai hiasan di buku saku dan dinding kantor tapi tidak menjadi landasan dalam berperilaku.
Pemimpin organisasi selalu berharap kinerja yang tinggi. Kalau belum mencapainya maka mereka mencari strategi baru, mengubah struktur dan system organisasi yang pada akhirnya belum juga meningkatkan kinerja. Mengapa? Karena peningkatan kinerja tidak mungkin tercapai tanpa perilaku karyawan yang memegang teguh integritas, inovasi, dan disiplin dalam mengeksekusi setiap strategi dan proses yang telah ditetapkan.
Perilaku integritas, inovasi dan disiplin tidak mungkin lahir tanpa adanya nilai yang ada dalam jiwa setiap karyawan. Kekeliruan banyak pemimpin adalah berharap kinerja tinggi, berharap perilaku yang mendukung kinerja tersebut tapi tidak mendefiniskan nilai dan tidak menanamkan/menginternalisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam jiwa, tangan, dan kaki seluruh karyawan. Laksana komputer yang tidak akan beroperasi tanpa prosesor, manusia tidak akan berjalan tanpa memiliki nilai yang tertanam dalam dirinya.
Karyawan yang memiliki nilai pribadi (personal value) dan keterampilan memimpin (leadership skill) yang baik adalah impian setiap organisasi. Pribadi yang seperti inilah yang mampu mengeksekusi setiap strategi organisasi. Dalam prakteknya, banyak pemimpin organisasi yang terlalu menitikberatkan pada keterampilan memimpin dan luput membangun nilai pribadi karyawannya. Akibatnya adalah lahir karyawan yang pandai mempengaruhi, lobby, dan negosiasi tapi memiliki kepentingan tersembunyi yaitu kepentingan dirinya sendiri bukan kepentingan organisasi. Inilah mengapa penanaman nilai pribadi harus dilakukan sebelum memberikan keterampilan memimpin.
Anda Ingin segera meraih pencapaian tertinggi dalam hidup Anda?
Dapatkan Informasi Training, Tips Menarik dan Artikel Inspiratif dari ESQ 165 melalui email Anda